Saat ini dunia dihadapkan pada dua krisis besar, yaitu krisis pangan dan krisis energi. Krisis pangan dipicu oleh adanya pemanasan global dan tidak meratanya distribusi. Sedangkan krisis energi dipicu oleh kian menipisnya cadangan energi yang berasal dari bahan bakar fosil (migas dan batubara). Solusi yang bisa dilakukan, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan RI Laksmana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi, adalah dengan mengembangkan diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi. Jagung, singkong dan sagu, adalah salah tiga komoditi yang saat ini dipercaya mampu mengatasi kedua krisis yang terus menghantui dunia dari waktu ke waktu. Khusus sagu, pemerintah menyebutnya sebagai tanaman unggulan dan memiliki potensi sebagai salah satu sumber pangan pokok selain beras, karena kandungan karbohidratnya (kalori) yang memadai dan memiliki kemampuan subsitusi pati sagu dalam industri pangan. Dengan demikian pengelolaan sagu Indonesia memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk ketahanan pangan dan energi nasional di masa mendatang. Namun sayangnya, meski sebagai sumber pangan utama di Papua dan Maluku, pengembangannya belum ditangani secara intesif. Hal itu, dikarenakan politik pangan Indonesia sangat bertumpu pada tanaman padi. Padi atau beras menjadi tolok ukur untuk menentukan tingkat konsumsi karbohidrat. Padahal tidak semua daerah di Indonesia dapat ditanami padi atau penduduknya terbiasa menanam padi atau secara tradisi tidak mengandalkan padi sebagai bahan pangannya. Namun demikian, kita patut bangga dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009, yang menyatakan bahwa sagu termasuk salah satu komoditi potensial untuk dikembangkan. Dengan demikian sagu memiliki harapan dan peluang untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi pangan nasional.
Sumber : http://agromas.wordpress.com